Selasa, 31 Agustus 2021

LP PERUB & ASKEP GERONTIK DG GANGGUAN PSIKOLOGIS

 

LAPORAN PENDAHULUAN

PERUBAHAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN GANGGUAN PSIKOLOGIS

 

 

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhD2q7jrnC80L-jakdO8gm7J-yJeqnTTjCYTjgajaJBvAp0mBhbcA7NtCzyV7UiCgbGD2REPcd1mRJm7Ge4jHlXUiImVnytW2MWu2hcJE3kFSC66ORXNylhyphenhypheng6O1mao7VWv2HMnY5j_r3Nj/s320/LOGO+Stikes+Bina+Putera.png

 

 

 

Disusun Oleh :

AYU PRAGISTA RAHMAWATI, S.Kep

NIM : 4012210010

 

 

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA PUTERA BANJAR

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

TAHUN 2019-2020

LAPORAN PENDAHULUAN

PERUBAHAN DAN ASKEP GERONTIK DENGAN GANGGUAN PSIKOLOGIS

 

A.    Konsep Dasar Teori

Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahapan ini berbeda baik secara biologis maupun secara psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran secara fisik maupun secara psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut putih, penurunan pendengaran, penglihatan menurun, gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat

Psikogeriatri atau psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan psikologis atau psikiatrik pada lanjut usia. Saat ini disiplin ini sudah berkembang menjadi suatu cabang psikiatrik, analaog dengan psikiatrik anak (Brocklehurts, Allen, 1987). Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut usia memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam manisfestasi klinis, pathogenesis dan patofisiologi gangguan mental antara pathogenesis dewasa muda dan lanjut usia (Weinberg, 1995; Kolb-Brodie, 1982). Faktor penyulit pada pasien lanjut usia juga perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan medis kronis penyerta, pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan kerentanan terhadap gangguan kognitif (Weinberg, 1995; Gunadi, 1984). 

B.     Batasan Lansia

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Lanjut Usia meliputi:

a.       Usia pertengahan (Middle Age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun.

b.      Lanjut usia (Elderly) ialah kelompok usia antara 60 dan 74 tahun.

c.       Lanjut usia tua (Old) ialah kelompok usia antara 75 dan 90 tahun.

d.      Usia sangat tua (Very Old) ialah kelompok di atas usia 90 tahun. 

C.     Teori Kejiwaan Lansia

1.         Aktifitas atau Kegiatan (Activity Theory)

Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah kegiatan secara langsung. Teori ini menyatakan bahwa usia lanjut yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial.  Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia. Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan ke lanjut usia.

2.          Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)

Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personaliti yang dimiliki.

3.          Teori Pembebasan (Disengagement Theory)

Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjaadi kehilangan ganda (triple loss), yakni:

a.       Kehilangan Peran

b.       Hambatan Kontak Sosial

c.        Berkurangnya Kontak Komitmen 

D.    Teori Psikologi

Psikology adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun yang tidak disadari.( Muhibbin Syah (2001).

 

1.         Teori Tugas Perkembangan

Havigurst (1972) menyatakan bahwa tugas perkembangan pada masa tua antara lain adalah:

a.       Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan kesehatan

b.      Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan

c.       Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup

d.      Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya

e.       Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan

f.       Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes

Selain tugas perkembangan diatas, terdapat pula tugas perkembangan yang spesifik yang dapat muncul sebagai akibat tuntutan:

a.       Kematangan fisik

b.       Harapan dan kebudayaan masyarakat

c.        Nilai-nilai pribadi individu dan aspirasi

Menurut teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari dalam diri, kebutuhan yang memotivasi seluruh perilaku manusia.

2.         Teori Individual Jung

Carl Jung (1960) menyusun sebuah teori perkembangan kepribadian dari seluruh fase kehidupan yaitu mulai dari masa kanak-kanak, masa muda dan masa dewasa muda, usia pertengahan sampai lansia. Kepribadian individu terdiri dari Ego, ketidaksadaran seorang dan ketidaksadaran bersama. Menurut teori ini kepribadian digambarkan terhadap dunia luar atau kearah subyektif. Pengalaman-pengalaman dari dalam diri (introvert). Keseimbangan antara kekuatan ini dapat dilihat pada setiap individu dan merupakan hal yang paling penting bagi kesehatan mental.

3.         Teori Delapan Tingkat Kehidupan

Secara Psikologis, proses menua diperkirakan terjadi akibat adanya kondisi dimana kondisi psikologis mencapai pada tahap-tahap kehidupan tertentu. Ericson (1950) yang telah mengidentifikasi tahap perubahan psikologis (delapan tingkat kehidupan) menyatakan bahwa pada usia tua, tugas perkembangan yang harus dijalani adalah untuk mencapai keeseimbangan hidup atau timbulnya perasaan putus asa. Peck (1968) menguraikan lebih lanjut tentang teori perkembangan Erikson dengan mengidentifikasi tugas penyelarasan integritas diri dapat dipilih dalam tiga tingkat yaitu : pada perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, perubahan tubuh terhadap pola preokupasi, dan perubahan ego terhadap ego preokupasi.

Pada tahap perbedaan ego terhadap peran pekerjaan preokupasi, tugas perkembangan yang harus dijalani oleh lansia adalah menerima identitas diri sebagai orang tua dan mendapatkan dukungan yang adekuat dari lingkungan untuk menghadapi adanya peran baru sebagai orang tua (preokupasi). Adanya pensiun dan atau pelepasan pekerjaan merupakan hal yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang menyakitkan dan dapat menyebabkan perasaan penurunan harga diri dari orang tua tersebut.

 

E.     Faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia

Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia. Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut :

1.         Penurunan Kondisi Fisik

Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.

Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya.

Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.

2.         Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual

Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes millitus, vaginitis, baru selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer.

Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :

a.       Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia

b.       Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan budaya.

c.        Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.

d.       Pasangan hidup telah meninggal.

e.        Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.

3.         Perubahan Aspek Psikososial

Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.

Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia sebagai berikut:

a.       Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.

b.       Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.

c.        Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.

d.       Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.

e.        Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.

4.         Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan

Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah diuraikan pada point tiga di atas.

Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia? Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan memperoleh gaji penuh.

Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.

Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.

5.         Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat

Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.

Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar.

F.      Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi pada lansia

1.    Depresi

1)      Pengertian

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu rnakan, psikomotor, konsentrasi, keielahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kap'an dan Sadock, 1998). Depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam (Nugroho, 2000). Menurut Hudak & Gallo (1996), gangguan depresi merupakan keluhan umum pada lanjut usia dan merupakan penyebab tindakan bunuh diri.

Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa, perasaan kosong (Keliat, 1996). Sedangkan menurut Hawaii (depresi adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (mood), yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, dan putus asa. Depresi adalah suatu kesedihan atau perasaan duka yang berkepanjangan (Stuart dan Sundeen, 1998).

2)      Tanda Dan Gejala Depresi

Perilaku yang berhubungan dengan depresi menurut Kelliat (1996) meliputi beberapa aspek seperti :

a.       Afektif

Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan, rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah, kesedihan.

b.       Fisiologis

Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan, gangguan pencernaan, insom¬nia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan perubahan berat badan.

c.        Kognitif

Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang destruktif tentang diri sendiri, pesimis, ketidakpastian.

d.       Perilaku

Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat, intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri.

3)       Gejala-gejala depresi pada lansia :

a.       Kognitif

Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada lansia yang menunjukkan gejala depresi. Pertama, individu yang mengalami  depresi memiliki self-esteem yang sangat rendah. Mereka berpikir tidak adekuat, tidak mampu, merasa dirinya tidak berarti, merasa rendah diri dan merasa bersalah terhadap kegagalan yang dialami. Kedua, lansia selalu pesimis dalam menghadapi masalah dan  segala sesuatu yang dijalaninya menjadi buruk dan kepercayaan terhadap dirinya (self-confident) yang tidak adekuat. Ketiga, memiliki motivasi yang kurang dalam menjalani hidupnya, selalu meminta bantuan dan melihat semuanya gagal dan sia-sia sehingga merasa tidak ada gunanya berusaha. Keempat, membesar-besarkan masalah dan selalu pesimistik menghadapi masalah. Kelima, proses berpikirnya menjadi lambat, performance intelektualnya berkurang. Keenam, generalisasi dari gejala depresi, harga diri rendah, pesimisme dan kurangnya motivasi.

b.       Afektif

Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan , murung, sedih, putus asa, kehilangan semangat dan muram. Sering merasa terisolasi, ditolak dan tidak dicintai. Lansia yang mengalami depresi menggambarkan dirinya berada dalam lubang gelap yang tidak dapat terjangkau dan tidak dapat keluar dari sana.

c.       Somatik

Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami depresi seperti pola tidur yang terganggu ( insomnia ), gangguan pola makan dan dorongan seksual yang berkurang. Lansia lebih rentan terhadap penyakit karena sistem kekebalan tubuhnya melemah, selain karena aging proces juga karena orang yang mengalami depresi menghasilkan sel darah putih yang kurang (Schleifer et all, 1984; Samiun, 2006).

d.      Psikomotor

Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah retardasi motor. Sering duduk dengan terkulai dan tatapan kosong tanpa ekspresi, berbicara sedikit dengan kalimat datar dan sering menghentikan pembicaraan karena tidak memiliki tenaga atau minat yang cukup untuk menyelesaikan kalimat itu. Dalam pengkajian depresi pada lansia, menurut Sadavoy et all (2004) gejala-gejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS yaitu gangguan pola tidur (sleep) pada lansia yang dapat berupa keluhan susah tidur, mimpi buruk dan bangun dini dan tidak bisa tidur lagi, penurunan minat dan aktifitas (interest), rasa bersalah dan menyalahkan diri (guilty), merasa cepat lelah dan tidak mempunyai tenaga (energy), penurunan konsentrasi dan proses pikir (concentration), nafsu makan menurun (appetite), gerakan lamban dan sering duduk terkulai (psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri (suicidaly)

4)      Penyebab Depresi Pada Lanjut Usia

Depresi pada lansia merupakan permasalahan kesehatan jiwa (mental health) yang serius dan kompleks, tidak hanya dikarenakanaging process tetapi juga faktor lain yang saling terkait. Sehingga dalam mencari penyebab depresi pada lansia harus dengan multiple approach. Menurut Samiun (2006) ada 5 pendekatan yang dapat menjelaskan terjadinya depresi pada lansia yaitu :

a)      Pendekatan Psikodinamik

Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa aman dan terlindung, keinginan untuk dihargai, dihormati dan lain-lain. Menurut Hawari (1996), seseorang yang kehilangan akan kebutuhan afeksional tersebut (loss of love object) dapat jatuh dari kesedihan yang dalam. Sebagai contoh seorang kehilangan orang yang dicintai (terhadap suami atau istri yang meninggal), kehilangan pekerjaan/jabatan dan sejenisnya akan dan menyebabkan orang itu mengalami kesedihan yang mendalam, kekecewaan yang diikuti oleh rasa sesal, bersalah dan seterusnya, yang pada gilirannya orang akan jatuh dalam depresi.

Freud mengemukakan bahwa depresi terjadi sebagai reaksi terhadap kehilangan. Perasaan sedih dan duka cita sesudah kehilangan objek yang dicintai (loss of love object), tetapi seringkali mengalami perasaan ambivalensi terhadap objek tersebut (mencintai  tetapi marah dan benci karena telah meninggalkan). Orang yang mengalami depresi percaya bahwa intropeksi merupakan satu-satunya cara ego untuk melepaskan suatu objek, sehingga sering mengritik, marah dan menyalahkan diri karena kehilangan objek tadi (Kaplan et all, 1997). Depresi yang terjadi pada lanjut usia adalah dampak negatif kejadian penurunan fungsi tubuh dan perubahan yang terjadi terutama perubahan psikososial. Perubahan-perubahan tersebut diatas seringkali  menjadi stresor bagi lanjut usia yang membutuhkan adaptasi biologis dan biologis. Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalahan yang menarik adalah kurangnya kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stres lingkungan  sering menyebabkan depresi.

Strategi adaptasi yang seringkali digunakan lansia yang mengalami depresi adalah strategi pasif (defence mcanism) seperti menghindar, menolak, impian, displacement dan lain-lain  (Coyne ett all, 1981 ; Samiun, 2006). Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan sosial (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stresor. Ada bukti bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang mengalami depresi bila berhadapan dengan stres (Billings, et all, 1983 ; Samiun , 2006).

b)      Pendekatan Perilaku Belajar

Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi pada lansia adalah individu yang kurang menerima hadiah (reward) atau penghargaan dan hukuman (punishment) yang lebih banyak dibandingkan individu yang idak depresi (Lewinsohn, 1974 ; Libet & Lewinsohn, 1997 ; Samiun, 2006). Dampak dari kurangnya hadiah dan hukuman yang lebih banyak ini mengakibatkan lansia merasakan kehidupan yang kurang menyenangkan, kecenderungan memiliki self-esteem yang kurang dan mengembangkan self-concept yang rendah. Hadiah dan hukuman bersumber dari lingkungan (orang-orang dan peristiwa sekitar) dan dari diri sendiri. Situasi akan bertambah buruk jika seseorang menilai hadiah yang diterima terlalu rendah dan hukuman yang diterima terlalu tinggi terutama untuk tingkah laku mereka sendiri, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan antara nilai reward  dan punishment itu. Peran hadiah dan hukuman terhadap diri sendiri yang tidak tepat dapat menimbulkan depresi (Rehm, 1997 ; Wicoxon, et all, 1997 ; Samiun 2006).

 Faktor lain dari lingkungan yang berkenaan dari hadiah dan hukuman adalah seseorang jika pindah ke tempat lain yang dapat mengakibatkan kehilangan sumber-sumber hadiah dan perubahan dari tingkah laku yang mendapat hadiah sehingga aktifitas yang sebelumnya dihadiahi menjadi tidak berguna. Standar untuk hadiah dan hukuman yang meningkat menyebabkan performansi yang diperlukan untuk mendapat hadiah lebih tinggi. Kehilangan hadiah yang sebelumnya diterima dapat menyebabkan depresi apabila sumber alternatif  untuk mendapat hadiah tidak ditemukan.

c)       Pendekatan Kognitif

            Menurut Beck (1967 ; 1976), Samiun (2006), seseorang yang mengalami depresi karena memiliki kemapanan kognitif yang negatif (negative cognitive sets) untuk menginterpretasikan diri sendiri, dunia dan masa depan mereka. Misalnya, seseorang yang berhasil mendapatkan pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan tersebut dan menginterpretasikan sebagai suatu yang  kebetulan dan tetap memikirkan kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu akan memiliki self-concept sebagai seorang yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa depannya suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah utam pada lansia yang depresi adalah kurangnya rasa percaya diri (self-confidence) akibat persepsi diri yang negatif (Townsend, 1998).

Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak menyadari adanya distorsi pemikiran dan adanya interpretasi alternative yang lebih positif, sehingga menyebabkan tingkat aktifitas berkurang karena merasa tidak ada alasan berusaha. Individu menjadi tidak dapat mengontrol aspek-aspek negative dari kehidupannya dan merasa tidak berdaya (helplessness). Perasaan ketidakberdayaan ini yang menyebabkan depresi (Abramson, 1978; Peterson, 1984; Samiun, 2006).

Menurut Kaplan et all (1997), Interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering adalah melibatkan distorsi negative pengalaman hidup, penilaian diri yang negative, pesimistis dan keputusasaan.  Pandangan negative dan ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helplessness) tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan depresi. Pengalaman awal memberikan dasar pemikiran diri yang negative dan ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik yang terus menerus tanpa diimbangi dengan pujian, dan kegagalan-kegagalan yang sering dialami individu (Beck, et al., 1979; Samiun, 2006).

d)     Pendekatan Humanistik – Eksitensial

           Teori humanistic dan eksistensial berpendapat bahwa depresi terjadi karena adanya ketidakcocokan antara reality self dan ideal self. Individu yang menyadari jurang yang dalam antara reality self dan ideal self dan tidak dapat dijangkau, sehingga menyerah dalam kesedihan dan tidak berusaha mencapai aktualisasi diri.

Menyerah merupakan factor yang penting terjadinya depresi. Individu merasa tidak ada lagi pilihan dan berhenti hidup sebagai seeorang yang real. Pada lansia yang gagal untuk bereksistensi diri menyadari bahwa mereka tidak mau berada pada kondisinya sekarang yang mengalami perubahan dan kurang mampu menyesuaikan diri, sehingga kehidupan fisik mereka segera berakhir. Kegagalan bereksistensi ini merupakan suatu kematian simbolis sebagai seseorang yang real.

e)      Pendekatan Fisiologis

 Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi terjadi karena aktivitas neurologis yang rendah (neurotransmiter norepinefrin dan serotonin) pada sinaps-sinaps otak yang berfungsi mengatur kesenangan. Neurotransmitter ini memainkan peranan penting dalam fungsi hypothalamus, seperti mengontrol tidur, selera makan, seks dan tingkah laku motor (Sachar, 1982; Samiun, 2006), sehingga seringkali seseorang yang mengalami depresi disertai dengan keluhan-keluhan tersebut.

Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi dengan penelitian saudara kembar. Monozogotik Twins (MZ) berisiko mengalami depresi 4,5 kali lebih besar (65%) daripada kembar bersaudara (Dizigotik Twins/DZ) yang 14% (Nurberger & Gershon, 1982; Samiun, 2006). Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa secara genetic depresi itu diturunkan.

Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia merupakan perpaduan interaksi yang unik dari berkurangnya interaksi social, kesepian, masalah social ekonomi, perasaan rendah diri karena penurunan kemampuan rendah diri, kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta kesedihan ditinggal orang yang dicintai, factor kepribadian, genetic, dan factor biologis penurunan neuron-neuron dan neurotransmitter di otak. Perpaduan ini sebagai factor terjadinya depresi pada lansia. Kompleksitasnya perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, sehingga depresi pada lansia dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.

Keluhan fisik biasanya terwujud pada perasaan fisik seperti :

1)        Distorsi dalam perilaku makan

2)        Nyeri (nyeri otot dan nyeri kepala)

3)        Merasa putus asa dan tidak berarti.

4)        Berat badan berubah drastis

5)        Gangguan tidur.

6)        Sulit berkonsentrasi

7)        Keluarnya keringat yang berlebihan

8)        Sesak napas

9)        Kejang usus atau kolik

10)    Muntah

11)    Diare

12)    Berdebar-debar

13)    Gangguan dalam aktivitas normal seseorang

14)    Kurang energi

5)      Depresi Lanjut Usia Pasca Kuasa (POST POWER SYNDROME)

                    Depresi pada pasca kuasa adalah perasaan sedih yang mendalam yang dialami seseorang setelah mengalami pension. Salah satu factor penyebab depresi pada pasca kuasa adalah karena adanya perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan atau kekuasaan ketika pension. Meskipun tujuan ideal pension adalah agar para lansia dapat menikmati hati tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pension sering dirasakan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri (Rini J, 2001).

                     Menurut Kuntioro (2002), reaksi setelah orang memasuki masa pension lebih tergantung dari model kepribadiannya. Untuk mensiasati agar masa pension tidak merupakan beban mental lansia, jawabannya adalah sangat tergantung pada sikap dan mental individu dalam masa pensiun, dalam kenyataannya ada yang menerima ada yang takut kehilangan ada yang merasa senang memiliki jaminan hari tua da nada juga yang seolah-olah acuh terhadap pension (pasrah). Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu baik positif maupun negative. Dampak positif lebih menentramkan driri lansia dan dampak negative akan mengganggu kesejahteraan hidup.

              Secara umum peristiwa kehidupan meliputi kehilangan harga diri, gangguan interpersonal, peristiwa social yang tidak diinginkan dan gangguan pola kehidupan yang besar. Kejadian yang tidak diinginkan juga sering menjadi factor presipitasi depresi. Kejadian di masa lampau (perpisahan dan segala macam kehilangan) lebih sering memperburuk gejal kejiwaan, perubahan kesehatan fisik, gangguan penampilan peran social dan depresi (Stuart dan Larairam, 1998).

              Menurut Hawari (1996) orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai kekuasaan, wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang kehilangan jabatan berarti orang yang kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless), artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini telah tiada (loss of love object). Dampak dari loss of love object ini adalah terganggunya keseimbangan mental/emosional dengan manifestasi berbagai keluhn fisik, kecemasan dan terlebih-lebih depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas disertai dengan perubahan sikap dan perilaku, merupakan kumpulan gejala yang disebut sindroma pasca kuasa (post power syndrome). Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan dampak atau keluhan psikososial dari orang yang baru kehilangan jabatan atau kekuasaan.

              Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu kuat kini merasa lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam alam fikir (rasio) dan alam perasaan pada diri yang bersangkutan. Kalau keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan kejiwaan (kekecewaan atau depresi) itu sifatnya kedalam, tertutup dan tidak terbuka maka keluhan psikososial inilah yang sering menampakan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap dan    perilaku.

             Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan karena perubahan posisi yang mengakibatkan perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap kondisi psikososial di luar dirinya. Guna menghindari rasa kecewa dan tidak senang itu, orang menggunakan mekanisme defensive antara lain berupa makanisme proyeksi dan rasionalisasi itulah maka terjadi perubahan persepsi seseorang terhadap kondisi psikososial sekelilingnya. Menurut Maramis (1995), bahwa stress psikologis terutama pada jiwa, seperti kecemasan, kekecewaan dan rasa bersalah yang menimbulkan mekanisme penyesuaian psikologis. Mungkin pada sewaktu-waktu, hanya gejala badaniah atau gejala psiokologik saja yang menonjol, tetapi kita harus mengingat bahwa manusia itu senantiasa bereaksi secara holistic, yaitu bahwa seluruh manusia itu terlibat dalam hal ini.

             Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi terdapat juga komponen psikologik dan komponen somatic. Gejala-gejala psikologik ialah menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistis, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan lekas lupa timbul pikiran bunuh diri. Sedangkan gejala badaniah ialah penderita kelihatan tidak senang, lelah tak bersemangat atau apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan dan kurang hidup, terdapat anoreksia (kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai pelarian), insomnia (sukar untuk tertidur) dan konstipasi.

6)      Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di Institusi.

Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal di panti wreda (Endah dkk, 2003) :

a.       Faktor Psikologis

Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk menentukan tujuan hidup dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di panti. Tempat dan situasi yang baru, orang0orang yang belum dikenal, aturan dan nilai-nilai yang berbeda,  dan keterasingan merupakan stressor bagi lansia yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan motivasi lansia untuk tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi dan kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.

Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalah yang menarik adalah kekurangan kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stress lingkungan sering menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian depresi seringkali melibatkan dukungan social (social support) yang tersedia dan digunakan lansia dalam menghadapi stressor. Ada bukti bahwa individu yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang mengalami depresi bila berhadapan dengan stress (Billings, et all, 1983; Samiun, 2006).

Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa hidupnya telah gagal karena harus menghabiskan sisa hidupnya jauh dari orang-orang yang dicintai mengakibatkan lansia memandang masa depan suram dan selalu menyesali diri, sehingga mempengaruhi kemampuan lansia dalam beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di institusi.

b.      Faktor Psikososial

Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan social mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya kepasitas hubungan keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi dengan keluarga yang dicintai dapat menimbulkan perasaan tidak berguana, merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan kondisi ini dapat berperan dalam terjadinya depresi. Tinggal di institusi membuat konflik bagi lansia antara integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan dukungan social yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan mempertahankan kepuasan hidup dan self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada lansia (Stoudemire, 1994).

Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya depresi. Sulit bagi lansia meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang harus meninggalkan rumah tempat tinggal lamanya (relokasi) oleh karena masalah kesehatan atau social ekonomi merupakan pengalaman yang traumatic karena berpisah dengan kenangan lama dan pertalian persahabatan yang telah memberikan perasaan aman dan stabilitas sehingga sering mengakibatkan lansia merasa kesepian dan kesendirian bahkan kemeorosotan kesehatan dan depresi (Friedman, 1995).

Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan pekerjaannya yang hilang setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di institusi mengakibatkan hilangnya gairah hidup, kepuasaan dan penghargaan diri. Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki peran penting dalam pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami penyesuaian diri dengan peran barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan rendah diri (Rini, 2001).

c.       Faktor Budaya

Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan kecenderungan lansia tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan dan banyak yang memilih untuk menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono, 2004). Pergeseran system keluarga (family system) dari extendend family ke nuclear family akibat industrialisasi dan urbanisasi mengakibatkan lansia terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan individualis menggangap lansia sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga langkah penyelesainnya dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk psikologisnya dan mempengaruhi kesehatannya.

Tinggal di panti wreda harusnya merupakan alternative yang terakhir bagi lansia, karena tinggal dalam keluarga adalah yang terbaik bagi lansia sesuai dengan tugas perkembangan keluarga yang memiliki lansia untuk mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan dan mempertahankan ikatan keluarga antargenerasi (Duvall, 1985 yang dikutip oleh Friedman, 1998).

7)      Skala Pengukuran Depresi Pada Lanjut Usia

Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap lingkungannya. Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai dengan gejala yang termanifestasi. Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan pengkajian dengan alat pengkajian yang terstandarisasi dan dapat dipercayai serta valid dan memang dirancang untuk diujikan kepada lansia. Salah satu yang paling mudah digunakan untuk diinterprestasikan di berbagai tempat, baik oleh peneliti maupun praktisi klinis adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini diperkenalkan oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi utama pada lanjut usia, dan memiliki keunggulan mudah digunakan dan tidak memerlukan keterampilan khusus dari pengguna. Instrument GDS ini memiliki sensitivitas 84 % dan specificity 95 %. Tes reliabilitas alat ini correlates significantly of 0,85 (Burns, 1999). Alat ini terdiri dari 30 poin pertanyaan dibuat sebagai alat penapisan depresi pada lansia. GDS menggunakan format laporan sederhana yang diisi sendiri dengan menjawab “ya” atau “tidak” setiap pertanyaan, yang memerlukan waktu sekitar 5-10 menit untuk menyelesaikannya. GDS merupakan alat psikomotorik dan tidak mencakup hal-hal somatic yang tidak berhubungan dengan pengukuran mood lainnya. Skor 0-10 menunjukkan tidak ada depresi, nilai 11-20 menunjukkan depresi ringan dan skor 21-30 termasuk depresi sedang/berat yang membutuhkan rujukan guna mendapatkan evaluasi psikiatrik terhadap depresi secara lebih rinci, karena GDS hanya merupakan alat penapisan.

INSTRUMEN GDS

Pernyataan Unfavorable, jawaban “tidak” diberi nilai 1 dan jawaban “ya” diberi nilai 0.

 

 

Assasment Tool geriatric depressions scale (GDS) untuk mengkaji depresi pada lansia sebagai berikut :

No

Pernyataan

Ya

Tidak

1

Apakah bapak/ibu sekarang ini merasa puas dengan kehidupannya?           

 

 

2

Apakah bapak/ibu telah meninggalkan banyak kegiatan atau kesenangan akhir-akhir ini?              

 

 

3

Apakah bapak/ibu sering merasa hampa/kosong di dalam hidup ini?           

 

 

4

Apakah bapak/ibu sering merasa bosan?                   

 

 

5

Apakah bapak/ibu merasa mempunyai harapan yang baik di masa depan?              

 

 

6

Apakah bapak/ibu merasa mempunyai pikiran jelek yang menganggu terus menerus?                    

 

 

7

Apakah bapak/ibu memiliki semangat yang baik setiap saat?           

 

 

8

Apakah bapak/ibu takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda?                      

 

 

9

Apakah bapak/ibu merasa bahagia sebagian besar waktu?               

 

 

10

Apakah bapak/ibu sering merasa tidak mampu berbuat apa-apa?                

 

 

11

Apakah bapak/ibu sering merasa resah dan gelisah?             

 

 

12

Apakah bapak/ibu lebih senang tinggal dirumah daripada keluar dan mengerjakan sesuatu?              

 

 

13

Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa depan?                

 

 

14

Apakah bapak/ibu akhir0akhir ini sering pelupa?                 

 

 

15

Apakah bapak/ibu piker bahwa hidup bapak/ibu sekarang ini menyenangkan?                   

 

 

16

Apakah bapak/ibu sering merasa sedih dan putus asa?                     

 

 

17

Apakah bapak/ibu merasa tidak berharga akhir-akhir ini?                

 

 

18

Apakah bapak/ibu sering merasa khawatir tentang masa lalu?                     

 

 

19

Apakah bapak/ibu merasa hidup ini menggembirakan?                    

 

 

20

Apakah sulit bagi bapak/ibu untuk memulai kegiatan yang baru?       

 

 

21

Apakah bapak/ibu merasa penuh semangat?             

 

 

22

Apakah bapak/ibu merasa situasi sekarang ini tidak ada harapan?               

 

 

23

Apakah bapak/ibu berpikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya daripada bapak/ibu?              

 

 

24

Apakah bapak/ibu sering marah karena hal-hal yang sepele?           

 

 

25

Apakah bapak/ibu sering merasa ingin menangis?                

 

 

26

Apakah bapak/ibu sulit berkonsentrasi?     

 

 

27

Apakah bapak/ibu merasa senang waktu bangun tidur dipagi hari?             

 

 

28

Apakah bapak/ibu tidak suka berkumpul di pertemuan social?                    

 

 

29

Apakah mudah bagi bapak/ibu membuat sesuatu keputusan?                      

 

 

30

Apakah pikiran bapak/ibu masih tetap mudah dalam memikirkan sesuatu seperti dulu?                 

 

 

 

Total Score

 

 

 

 

8)      Upaya Penanggulangan Depresi Pada Lansia

Ada beberapa upaya penanggulangan depresi dengan eclectic holistic approach, diantaranya:

a.       Pendekatan Psikodinamik

Focus pendekatan psikodinamik adalah penanganan terhadap konflik-konflik yang berhubungan dengan kehilangan dan stress. Upaya penanganan depresi dengan mengidentifikasi kehilangan dan stress yang menyebabkan depresi, mengatasi, dan mengembangkan cara-cara menghadapi kehilangan dan stressor dengan psikoterapi yang bertujuan untuk memulihkan kepercayaan diri (self confidence) dan memperkuat ego. Menurut Kaplan et all (1887), pendekatan ini tidak hanya untuk menghilangkan gejala, tetapi juga untuk mendapatkan perubahan struktur dan karakter kepribadian yang bertujuan untuk perbaikan kepercayaan pribadi, keintiman, mekanisme mengatasi stressor, dan kemampuan untuk mengalami berbagai macam emosi.

Pendekatan keagaman (spiritual) dan budaya sangat dianjurkan pada lansia. Pemikiran-pemikiran dari ajaran agama apapun mengandung tuntunan bagaimana dalam kehidupan di dunia ini manusia tidak terbebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan sebagainya. Demikian pula dapat ditemukan dalam doa-doa yang paada intinya memohon kepada Tuhan agar dalam kehidupan ini manusia diberi ketenangan, kesejahteraan dan keselamatan baik di dunia dan di akhirat (Hawari, 1996).

b.      Pendekatan Perilaku Belajar

Penghargaan atas diri yang kurang akibat dari kurangnya hadiah dan berlebihannya hukuman atas diri dapat di atasi dengan pendekatan perilaku belajar. Caranya dengan identifikasi aspek-aspek leingkungan yang merupakan sumber hadiah dan hukuman. Kemudian diajarkan keterampilan dan strategi baru untuk mengatasi, menghindari, atau mengurangi pengalaman yang menghukum, seperti assertive training, latihan keterampilan social, latihan relaksasi, dan latihan manajemen waktu. Usaha berkutnya adalah peningkatan hadiah dalam hidup dengan self-reinforcement, yang diberikan segera setelah tugas dapat diselesaikan.

Menurut Samiun (2006), ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian hadiah dan hukuman, yaitu tugas dan teknik yang diberikan terperinci dan spesifik untuk aspek hadiah dan hukuman dari kehidupan tertentu dari individu. Teknik ini dapat untuk mengubah tingkah laku supaya meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman, serta individu harus diajarkan keterampilan yang diperlukan untuk meningkatkan hadiah dan mengurangi hukuman.

c.       Pendekatan Kognitif

Pendekatan ini bertujuan untuk mengubah pandangan dan pola pikit tentang keberhasilan masa lalu dan sekarang dengan cara mengidentifikasi pemikiran negative yang mempengaruhi suasana hati dan tingkah laku, menguji individu untuk menentukan apakah pemikirannya benar dan menggantikan pikiran yang tidak tepat dengan yang lebih baik (Beck, et al, 1979; Samiun, 2006). Dasar dari pendekatan ini adalah kepercayaaan (belief) individu yang terbentuk dari rangkaian verbalisasi diri (self-talk) terhadap peristiwa/pengalaman yang dialami yang menentukan emosi dan tingkah laku diri.

Menurut Kaplan et all (1997), upaya pendekatan ini adalah menghilangkan episode depresi dan mencegah rekuren dengan membantu mengidentifikasi dan uji kognisi negative, mengembangkan cara berpikir alternative, fleksibel dan positif, serta melatih respon kognitif dan perilaku yang baru dan penguatan perilaku dan pemikiran yang positif.

d.      Pendekatan Humanistik Eksistensial

Tugas utama pendekatan ini adalah membantu individu menyadari kebaradaannya didunia ini dengan memperluas kesadaran diri, menemukan dirinya kembali dan bertanggung jawab terhadap arah hidupnya. Dalam pendekatan ini, individu yang harus berusaha membuka pintu menuju dirinya sendiri, melonggarkan belengu deterministic yang menyebabkan terpenjara secara psikologis (Corey, 1993; Samiun, 2006). Dengan mengeksplorasi alternative ini membuat pandangan menjadi real, individu menjadi sadar siapa dia sebelumnya, sekarang dan lebih mempu menetapkan masa depan.

e.       Pendekatan Farmakologis

Dari berbagai jenis upaya untuk gangguan depresi ini, maka terapi psikofarmaka (farmakoterapi) dengan obat anti depresan merupakan pilihan alternative. Hasil terapi dengan obat anti depresan adalah baik dengan dikombinasikan dengan upaya psikoterapi.

9)      Penatalaksanaan Depresi pada Lansia:

a.       Terapi Biologik

·         Pemberian obat antidepresan

·         Terapi kejang listrik (ECT), shock theraphy

·         Terapi sulih hormon

·         Transcranial Magnetic Stimulation (TMS)

b.      Terapi Psikososial (Psikoterapi)

Bertujuan mengatasi masalah Psikoedukatif, yaitu:

·         Mengatasi kepribadian maladaptif,

·         Distorsi pola berpikir,

·         Mekanisme koping yang tidak efektif,

·         Hambatan relasi interpersonal.

Terapi ini juga dilakukan untuk mengatasi masalah Sosiokultural, seperti :

·         Keterbatasan dukungan dari keluarga,

·         Kendala terkait faktor kultural,

·         Perubahan peran sosial.

c.       Perubahan Gaya Hidup

·         Aktivitas fisik terutama olah-raga.

·         Pasien dibiasakan berjalan kaki setiap pagi/sore sehingga energi dapat diä serta me(-) stress karena kadar norepinefrin meningkat.

·         Selain itu, pasien juga dapat diperkenalkan pada kebiasaan meditasi serta yoga untuk menenangkan pikirannya

d.      Diet Sehat

·         Me(-) asupan gizi yg me(+) kadar stress jg perlu dilakukan.

·         Memperhatikan jenis makanan yg akan disajikan kpd lanjut usia yg mengalami depresi. Makanan berat scr otomatis akan memicu tindakan bagian syaraf parasimpatik à cabang dr sistem syaraf otonom yg meæ kesadaran.

·         Depresi berhub. dg tingkat kesadaran yg rendah. Kesadaran mengacu pd proses psikologis yg meliputi hal-hal seperti kemampuan utk memusatkan perhatian seseorang & kemampuan utk bekerja scr efektif.

 

2.    Berduka Cita

Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Periode duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi seorang penderita lanjut usia. Meninggalnya pasangan hidup, seorang teman dekat atau bahkan seekor hewan yang sangat disanyangi bias mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah rapuh dari seorang lansia, yang selanjutnya akan memicu terjadinya gangguan fisik dn kesehatannya. Periode 2 tahun pertama setelah ditinggal mati pasangan hidup atau teman dekat tersebut merupakan periode yang sangat rawan. Pada periode ini orang tersebut justru harus dibiarkan untuk dapat mengekspresikan dukacita tersebut. Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian diikuti dengan menangis dan kemudian suatu periode depresi. Depresi akibat duka-cita pada usia lanjut biasanya tidak bersifat self limiting. Dokter atau petugas kesehatan harus memberi kesempatan pada episode tersebut berlalu. Diperlukan pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan keluhan, memberikan hiburan dimana perlu dan tidak membiarkan tiap episode berkepanjangan dan berjalan terlalu berat. Apabila upaya diatas tidak berhasil, bahkan timbul depresi berat, konsultasi psikiatrik mungkin diperlukan, dengan kemungkinan diberikan obat anti depresan.

3.    Kesepian

Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga mengalami berbagai penurunan status kesehatan, misalnya menderita berbagai penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran (Brocklehurts-Allen, 1987).

Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri. Banyak di antara lansia hidup sendiri tidak mengalami kesepian, karena aktivitas social yang masih tinggi, tetapi dilain pihak terdapat lansia yang walaupun hidup di lingkungan yang beranggotakan cukup banyak, tohh mengalami kesepian.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Martono Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI. Jakarta: Fakultas Kedokteran UNIVERSITAS INDONESIA

Depkes R.I. 1999. Kesehatan keluarga, Bahagia di Usia Senja. Jakarta: Medi Media

Nugroho Wahyudi. 1995. Perawatan Usia Lanjut. Jakarta: EGC

Muhibbinsyah. 2001. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar