LAPORAN
PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA
Diajukan
untuk memenuhi tugas Program Profesi Ners angkatan XVI
Stase
Keperawatan Gawat Darurat
Disusun oleh
AYU PRAGISTA RAHMAWATI, S.Kep.
NPM. 4012210010
PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN KE XVI
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)
BINA PUTERA BANJAR 2020-2021
LAPORAN PENDAHULUAN
CEDEEA KEPALA
1.
DEFINISI
Cedera
kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa perdarahan
intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari
otak (Nugroho, 2011).
Cedera
kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2001).
Menurut
Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
Cedera
kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul
maupun trauma tajam. Deficit neorologis terjadi karena robekannya subtansia
alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta edema serebral
disekitar jaringan otak (Batticaca, 2008).
Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian
besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.( Mansjoer, dkk, 2000 ).
2.
ETIOLOGI
Penyebab
cedera kepala antara lain :
1.
Kecelakaan mobil
2.
Perkelahian
3.
Jatuh
4.
Cedera olahraga
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )
3.
PATOFISIOLOGI
Trauma
pada kepala bisa disebabkan oleh benda tumpul maupun benda tajam. Cedera yang
disebabkan benda tajam biasanya merusak daerah setempat atau lokal dan cedera
yang disebabkan oleh benda tumpul memberikan kekuatan dan menyebar ke area
sekitar cedera sehingga kerusakan yang disebabkan benda tumpul lebih luas.
Berat ringannya cedera tergantung pada lokasi benturan, penyerta cedera,
kekuatan benturan dan rotasi saat cedera.
4.
KLASIFIKASI
Cedera otak dapat dibagi 3 kelompok
berdasarkan nilai GCS (Glascow Coma Scale) yaitu:
1. Cedera
Otak Ringan (COR)
·
GCS 13-15
·
Tidak terdapat kelainan pada CT Scan
otak
·
Tidak emmerlukan tindakan operasi
·
Lama dirawat di rumah sakit < 48
jam
2. Cedera
Otak Sedang (COS)
·
GCS 9-12
·
Ditemukan kelainan pada CT Scan otak
·
Memerlukan tindakan operasi untuk
lesi intracranial
·
Dirawat di rumah sakit setidaknya 48
jam
3. Cedera
Otak Berat (COB)
·
Nilai GCS <8
·
Memerlukan tindakan operasi untuk
lesi intracranial.
·
Bila dalam waktu 48 jam setelah
trauma, nilai GCS <8
( George Dewanto, 2009 )
5.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinisnya yaitu:
·
Pada cedera otak, kesadaran
seringkali menurun
·
Pola nafas menjadi abnormal secara
progresif
·
Reson pupil mungkin tidak ada atau
secara progresif mengalami deteriorasi
·
Sakit kepala dapat terjadi dengan
segera atau terjadi bersama peningkatan tekanan intracranial
·
Muntah dapat terjadi akibat
peningkatan tekanan intracranial
·
Perubahan perilaku, kognitif, dan
fisik pada gerakan motorik dan berbicara dapat terjadi dengan kejadian segera
atau secara lambat. Amnesia yang berhubungan dengan kejadian ini biasa terjadi.
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )
6.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi yaitu:
·
Perdarahan didalam otak, yang
disebut hematoma intraserebral, dapat menyertai cedera kepala yang tertutup
yang berat, atau lebih sering cedera kepala terbuka. Pada perdarahan diotak,
tekanan intrakranial meningkat,dan sel neuron dan vaskuler tertekan. Ini adalah
jenis cedera otak sekunder. Pada hematoma, kesadaran dapat menurun dengan
segera, atau dapat menurun setelahnya ketika hematoma meluas dan edema
interstisial memburuk.
· Perubahan
perilaku dan defisit kognitif dapat terjadi dan tetap ada.
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )
7.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
·
Radiograf tengkorak dapat
mengidentifikasi lokasi fraktur atau perdarahan atau bekuan darah yang terjadi.
·
CT Scan dan MRI dapat dengan tapat
menentukan letak dan luas cedera. CT Scan biasanya merupakan perangkat
diagnostik pilihan diruang kedaruratan walaupun hasil CT Scan mungkin normal
yang menyesatkan. MRI adalah perangkat yang leboh sensitif dan akurat, dapat
mendiagnosis cedera akson difus, namun mahal dan kurang dapat diakses
disebagian besar fasilitas.
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )
8.
PENATALAKSANAAN
Cedera otak ringan dan sedang
biasanya diterapi dengan observasi dan tirah baring.
·
Mungkin diperlukan ligasi pembuluh
darah yang pecah melalui pembedahan (pengeluaran benda asing dan sel
yang mati ), terutama pada cedera kepala terbuka.
·
Dekompresi melalui pengeboran lebang
didalam otak, yang disebut burr hole, mungkin diperlukan.
·
Mungkin dibutuhkan ventilasi
mekanik.
·
Antibiotik diperlukan untuk cedera
kepala terbuka guna mencegah infeksi.
·
Metode untuk menurunkan tekanan
intrakranial dapat mencakup pemberian diuretik dan obat anti inflamasi.
( Elizabeth J.Corwin, 2009 )
KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN
1.
PENGKAJIAN
Pengumpulan
data klien baik subjektif maupun objektif pada ganguuan sistem persarafan
sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri,
dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera
kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
diagnostik, dan pengkajian psikososial.
1.
PENGKAJIAN AWAL
Airway :
Klien terpasang ETT ukuran 7,5 dengan pemberian oksigen 15 liter permenit. FIO2
= 81 %, terdapat sumbatan atau penumpukan sekret, adanya suara nafars tambahan
yaitu ronchi +/+.
Breathing :
Frekuensi nafas 20x/menit, irama nafas abnormal, nafas tidak spontan.
Circulation:Perubahan frekuensi jantung (bradikardi), keluar
darah dari hidung dan telinga, perubahan tekanan darah
2.
ANAMNESIS
Identitas klien meliputi nama, umur
( kebanyakan terjadi pada usia muda ), jenis kelamin ( banyak laki-laki, karena
ngebut-ngebutan dengan motor tanpa pengaman helm ), pedidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor
register, diagnosa medis. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk
meminta pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma
kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
3.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Adanya
riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas, jatuh
dari ketinggian,dan trauma langsung ke kepala. Pengkajian yang didapat meliputi
tingkat kesadaran menurun ( GCS <15 ), konvulsi, muntah, takipnea, sakit
kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi
sekret pada saluran pernafasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta
kejang. Adanya penurunan tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan didalam
intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan
penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan koma. Perlu ditanyakan
pada klien atau keluarga yang mengantar klien ( bila klien tidak sadar )
tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering
terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut-ngebutan.
4.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pengkajian yang perlu ditanyakan
meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes
melitus, penyakit jantung ,anemia, penggunaan obat-obatan antikoagulan,
konsumsi alkohol berlebih.
5.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Mengkaji adanya anggota terdahulu
yang menderita hipertensi dan diabetes melitus.
6.
PENGKAJIAN PSIKO,SOSIO,SPIRITUAL
Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons emosi klien
terhadap penyakit yang dideritanya. Apakah ada dampak yang timbul pada klien,
yaitu timbul ketautan akan kesadaran, rasa cemas. Adanya perubahan hubungan dan
peran karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan
bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya,
tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif. Karena klein harus
menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi
kilen, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak
sedikit. Cedera otak memerlukan dana pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan
dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat
mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klein dan keluarga.
7.
PENGKAJIAN FISIK
Setelah melakukan anamnesis yang
mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat bergguna untuk
mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
persistem ( B1-B6 ).
·
Keadaan Umum
Pada keadaan cedera otak umumnya
mengalami penurunan kesadran ( cedera otak ringan GCS 13-15, cedera otak sedang
GCS 9-12, cedera otak berat GCS <8 ) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda
vital.
·
B1 ( Breathing )
Sistem
pernafasan bergantung pada gradasi dari perubahan jaringan serebral akibat
trauma kepala. Akan didapatkan hasil:
§ Inspeksi
: Didapatkan klien batuk. Peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan
otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan.
§ Palpasi
: Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila
melibatkan trauma pada rongga thoraks.
§ Perkusi
: Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma pada thoraks.
§ Auskultasi
: Bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, ronkhi pada klein dengan
pengingkatan produksi sekret dan kemampuan batuak yang menuurn sering
didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
Klien biasanya terpasang ETT dengan
ventilator dan biasanya klien dirawat diruang perawatan intensif sampai kondisi
klien menjadi stabil pada klien dengan cedera otak berat dan sudah terjadi
disfungsi pernafasan.
·
B2 ( Blood )
Pada sisitem kardiovaskuler
didapatkan syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera otak sedang
sampa cedera otak berat. Dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah,
bradikardi, takikardi, dan aritmia.
·
B3 ( Brain )
Cedera otak menyebabakan berbagai
defisit neurologi terutama disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial
akibat adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural
hematoma, dan epidural hematoma. Pengkajian tingkat kesadaran dengan
menggunakan GCS.
·
B4 ( Bladder )
Kaji keadaan urin meliputi waran,
jumlah, dan karakteristik. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi urine
dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera kepala, klien
mungkin mengalami inkontinensia urinw karena konfusi, ketidakmampuan
mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena
kerusakan kontrol motorik dan postural.
·
B5 ( Bowel )
Didapatkan adanya keluhan kesulitan
menelan, nafsu makan menurun, mual, muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungkan dengan adanya peningkatan produksi asam lambung. Pola defekasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
·
B6 ( Bone )
Disfungsi motorik paling umum adalah
kelemahan pada seluruh ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembaban, dan
turgor kulit. ( Arif Muttaqin, 2008 )
2.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan
perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah, edema serebral.
2. Pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler ( cedera pada
pusat pernafasan otak).
3. Resiko
tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
4. Perubahan
persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif.
5. Kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif.
3.
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Diagnosa 1 :
Perubahan
perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah, edema serebral.
Tujuan
: Setelah
dilakukan tindakan keperawatan, GCS, tingkat kesadaran, kognitif, dan fungsi
motorik klien membaik.
Kriteria Hasil :
Tanda vital stabil dan tidak ada
tanda-tanda peningkatan TIK
Tingkat kesadaran membaik.
GCS klien meningkat.
Intervensi
:
1. Tentukan
faktor-faktor yang menyebabkan penurunan perfusi jaringan otak dan peningkatan
TIK.
R/ :
Penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya
setelah serangan awal, menunjukkan perlunya klien dirawat diperawatan intensif.
2. Pantau
atau catat status neurologis secara teratus dan bandingkan dengan nilai GCS
R/ :
Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaatdalam
menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan saraf pusat.
3. Turunkan
stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
R/
: Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan
meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
Diagnosa 2 : Pola nafas tidak efektif berhubungan
dengan kerusakan neurovaskuler.
Tujuan
: Setelah
dilakukan tindakan keperawatan, klien mampu mempertahankan pola pernafasan
efektif melalui pemasangan ETT.
Kriteria Hasil :
Pola nafas kembali efektif
Nafas spontan.
Intervensi
:
1. Pantau
frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan.
R/ :
Perubahan daoat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi /
luasnya keterlibatan oyak. Pernafasan lambat, periode apnea dapat menandakan
perlunya ventilasi mekanik.
2. Diposisikan
head up (300).
R/ : Untuk
menurunkan tekanan vena jugularis
3. Berikan
oksigen.
R/
: Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan
hipoksia. Jika pusat pernafasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
Diagnosa 3 : Resiko tinggi terhadap infeksi
berhubungan dengan prosedur invasif.
Tujuan
:Setelah
dilakukan tindakan keperawatan, klien bebas dari tanda-tanda infeksi.
Kriteria Hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi yaitu
kalor (panas), rubor (kemerahan), dolor (nyeri tekan), tumor (membengkak), dan
fungsi ulesa.
Intervensi
:
1. Berikan
perawatan aseptik,pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
R/ : Cara pertama untuk menghindari
terjadinya infeksi nosokomial.
2. Observasi
daerah kulit yang mengalami kerusakan.
R/ :
Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan
segera dan peegahan teradap komplikasi selanjutnya.
3. Pantau
suhu tubuh secara teratur.
R/
: Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan
evaluasi atau tindakan segera.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, J. Elzabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologis.
Edisi revisi 3. Jakarta. EGC
Dewanto, George. 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan Tata
Laksana Penyakit Saraf. Jakarta. EGC
Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta.
EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien
dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta. EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar